Makalah LIFE SPAN ERIKSON


LIFE SPAN (ERIKSON)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Kepribadian




Nama Anggota: 
Alifvia Chairunnisa Setiawan/19107010006
Siska Yuniasih/19107010017
Alfina Intan Ulya/19107010031





PSIKOLOGI A
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2020

    Erikson adalah seorang psikolog yang berasal yang lahir pada tanggal 15 Juni 1902 di Frankfurt, Jerman. Ia dari keluarga yang berkebangsaan Denmark. Erikson tidak mengnali ayah kandungnya karena orangtuanya berpisah sebelum Ia lahir. Ibunya menikah dengan seorang dokter anak Karlsruhe, Dr. Homburger, lalu Erikson diadopsi dan tinggal bersama. 
    Erikson menyelesaikan pendidikannya di Gymnasium dan setelah itu Ia belum dapat memutuskan untuk melakukan sesuatu yang Ia inginkan. Sehingga, Erikson menghabiskan waktunya selama setahun untuk berkelana keliling Eropa untuk mendapatkan inspirasi agar Ia dapat menemukan apa yang ingin dilakukan. Pada akhir petualangannya, Erikson memilih kesenian karena Ia merasa ada bakat dan minat pada bidang tersebut. Pada masa hidupnya Erikson yang kala itu berusia 25 tahun mengalami suatu kejadian yang merubahnya secara drastis di Wina, Erikson diundang untuk mengajar pada suatu sekolah swasta. Sekolah itu adalah sekolah yang progresif dan murid-murid diberikan kebebasan penuh untuk mengembangkan kurikulum. Erikson mengikuti pola pendidikan tersebut dan menjadi begitu tertarik pada pendidikan anak-anak yang menekankan terhadap perkembangan inisiatif anak sendiri. 
Pengaruh yang besar terjadi lagi pada hidup Erikson saat ia kenal dengan perkumpulan Freud dan mengikuti pendidikan psikoanalisis yang dibimbing oleh Anna Freud dan tamat dari Institut Psikoanalis Wina pada tahun 1933. 
    Setelah menikah, Erikson memutuskan untuk pindah ke Denmark dan akhirnya pergi ke Amerika Serikat dan menetap di Boston pada tahun 1933. Di bidang psikoanalisis anak Erikson menjadi ahli pertama di kota itu. Ia juga bertindak sebagai konsultan dan diberi jabatan oleh Sekolah Kedokteran Harvard. Erikson bergabung di klinik psikologi Harvard dengan Henry Murray dan juga mengadakan penelitian. Ia juga menerima jabatan dari Institute of Human Relations Universitas Yale dan jabatan lector di Sekolah Kedokteran. 
    Pada tahun 1939, Erikson pergi ke California dan bergabung dengan Institute of Child Welfare pada Universitas California di Berkeley. Selama tahun-tahun ini di California, ia menulis bukunya yang pertama Childhood and Society (1950), rdisi yang direvisi, 1963. Buku ini dianggap yang terpenting karena buku tersebut menggariskan tema-tema yang mengikat perhatian Erikson selama sisa hidupnya. Pada tahun 1960, Erikson diangkat menjadi professor di Harvard, dimana mata kuliahnya tentang siklus kehidupan menjadi sangat disukai oleh mahasiswa-mahasiswanya. Pada tahun 1970, ia pensiun dan pindah ke Sanfransisco ia bertindak sebagai konsultan untuk Mount Zion Hospital dan Health and Medical Sciences Program di Universitas California. 


Teori Psikososial tentang Perkembangan
    Menurut Erikson manusia akan melalui tahap-tahap perkembangan yang seluruhnya ada 8 tahap perkembangan yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu empat tahap yang pertama terjadi pada masa bayi dan kanak-kanak, tahap yang kelima yaitu pada masa adolesen, dan ketiga tahap terakhir pada tahun-tahun dewasa dan usia tua. Dalam tulisan-tulisan Erikson, tekanan khusus diletakkan pada masa adolesen, karena masa tersebut merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Apa yang terjadi pada tahap ini sangat penting pada kepribadian dewasa. Identitas, krisis-krisis identitas, dan kekacauan identitas merupakan konsep-konsep Erikson yang sangat terkenal. 

1. Kepercayaan Dasar versus Kecurigaan Dasar
    Kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk selama tahap sensorik-oral dan ditunjukkan bayi lewat kapasitasnya untuk tidur dengan tenang, untuk menyantap makanan dengan nyaman dan membunag kotoran dengan santai. Situasi-situasi yang menyenangkan dan orang-orang yang bertanggung jawab menimbulkan kenyamanan ini menjadi akrab dan dikenal oleh bayi. Kebiasaan-kebiasaan, konsistensi, dan kontinuitas sehari-hari dalam lingkungan bayi merupakan dasar paling awal bagi perkembangan suatu perasaan identitas psikosoial. 
    Perbandingan yang tepat antara kepercayaan dasar dan kecurigaan dasar mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. “pengharapan merupakan kebajikan paling awal dan paling esensial yang melekat dalam hidup” (1964, hlm. 115). Fondasi penharapan terletak pada hubungan-hubungan pertama dengan orangtua keibuan dan dapat dipercaya yang responsive terhadap kebutuhan-kebutuhan yang memberi pengalaman sebegitu memuaskan seperti ketenangan, makanan, dan kehangatan. Semua verifikasi pengharapan berasal dari dunia-ibu dan anak. 
Tahap pertama kehidupan ini, masa bayi, merupakan tahap ritualisasi numinous. Numinous yang dimaksud adalah perasaan bayi akan kehadiran ibu yang bersifat keramat, pandangannya, pegangannya, sentuhannya, senyumannya, payudaranya, cara memanggil dengan nama, dengan kata lain “pengakuan” atas dirinya. Tiadanya pengakuan dapat menyebabkan keterasingan dalam kepribadian bayi (sejenis perasaan ia diasingkan atau dibuang). Bentuk ritual numinous yang menyimpang terungkap dalam kehidupan dewasa berupa pemujaan terhadap pahlawan secara berlebihan atau idolisme.

2. Otonomi versus Perasaan Malu dan Keragu-raguan
    Pada tahap kedua kehidupan (tahap muskular-anal dalam skema psikoseksual) anak mempelajari apakah yang di harapkan dari dirinya. Nilai kemauan muncul pada tahap kedua kehidupan ini. Anak belajar dari dirinya sendiri dan dari orang-orang lain yang apa yang diharapkan dan apa yang boleh diharapkan. Kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban. Kemauan adalah kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan bebas, memutuskan, melatih mengendalikan diri, dan bertindak yang terus meningkat. 
    Erikson menyebut ritualisasi tahap ini sifat bijaksana (judicious), karena anak mulai menilai dirinya sendiri dan orang-orang lain serta membedakan antara benar dan salah. Ia mengambangkan kemampuan menghayati suatu rasa benar atau salah pada tindakan-tindakan  dan kata-kata tertentu. Anak juga belajar membedakan antara “jenis kami” dan orang-orang lai yang dinilai berbeda (orang lain yang tidak sama dengan jenis dirinya secara otomatis dinilai salah atau buruk). Ini merupakan dasar ontogenetic dari keterasingan yang disebut spesies yang terpecah (divided species) atau Erikson menyebutnya dengan pseudospesies (sumber prasangka dalam diri manusia).
    Periode ritualisasi sifat bijaksana dalam masa kanak-kanak ini merupakan sumber ritual pengadilan pada masa dewasa, yang tercermin dalam pemeriksaan di ruang pengadilan dan prosedur-prosedur dengan mana putusan salah atau tak bersalah ditetapkan. Penyimpanan ritualisme pada tahap ini adalah legalisme, yakni peguatamaan hukuman daripada belas kasih. 
Inisiatif versus Kesalahan
    Tahap ini adalah tahap setara dengan lokomotor-genital dalam psikoseksualitas. Tahap ini adalah tahap psikoseksual ketiga. Masa ini adalah masa dimana individu dapat memperluas penguasaannya dan tanggung jawab. Secara fisik maupun kejiwaan, anak diharapkan dapat menampilkan diri untuk lebih maju dan lebih stabil dalam keduanya. Bahaya yang ditimbulkan dalam tahap ini adalah jika ketika anak melakukan kesalahan, maka Ia akan dihantui oleh rasa bersalah karena terlampau jauh untuk memikirkan tujuan-tujuan, fantasi genital. Anak dapat menunjukkan sikap yang agresif serta melalui cara-cara yang manipulative untuk mencapai tujuannya. Dalam tahap ini, anak mulai ingin belajar dalam arti untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban. 
    Tujuan adalah hal utama yang menonjol menjadi nilai dalam tahap perkembangan ini. Kegiatan bermain, eksplorasi, usaha-usaha, dan kegagalannya serta eksperimentasi adalah kegiatan utamanya. Di samping itu, anak juga penting untuk memerankan roleplay dengan memainkan peran-peran orang dewasa. Permainan ini bisa memberikan anak tentang jenis kenayatan tentang benda, hubungan antara dunia dalam dan luar dan ingatan-ingatan masa lampau. 
Masa ini adalah ritualisasi dramatik karena anak secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan bermain, seperti memakai pakaian, meniru kepribadian-kepribadian orang-orang dewasa. 

3. Kerajinan versus Inferioritas
    Pada tahap ini, anak harus belajar untuk mengembangkan suatu sikap rajin dan mulai menempuh pendidikan formal yang seharusnya dilakukan. Perlahan-lahan, perhatian mereka akan teralihkan dengan alat-alat perkakas yang dapat meningkatkan produktivitas mereka daripada alat-alat bermain. Bahaya dari tahap ini dapat menimbulkan rasa rendah diri karena anak tidak berhasil menguasai tugas-tugas yang diberikan. 
    Pada tahap ini, anak diharuskan untuk menggunakan kecerdasannya dan juga energinya untuk aktivitas dan tujuan tertentu, sehingga rasa kompetensi dimiliki dan mereka dapat menerjunkan diri pada pekerjaan dan bertanggung jawab akan tugas-tugas yang diberikan. Selama usia ini, anak-anak ingin sekali untuk mempelajari teknik-teknik untuk dapat mempelajari menggunakan perkakas, mesin-mesin, serta metode-metode sebagai persiapan yang dilakukan menuju arah dewasa. Dalam hal ini, anak-anak sudah merasakan berbagai tanggung jawab untuk mempelajari serta melakukan berbagai hal. Setelah mengembangkan kecerdasan dan kapasitas yang dimiliki secukupnya, sangat penting sekali untuk anak-anak agar mencegah timbulnya perasaan inferioritas dan regresi ego. 
    Usia ini adalah bentuk dari ritualisasi formal dimana anak-anak belajar secara metodis. Dengan mempelajari metode serta mengamatinya mampu meningkatkan kualitas anak terhadap keterampilan dan kesempurnaan. Hal-hal yang telah menjadi tanggungjawabnya akan dikerjakan dengan baik. 
Identitas versus Kekacauan Identitas
    Selama masa menuju pendewasaan, remaja mulai merasakan bahwa mereka sendiri adalah manusia yang unik. Mereka mulai mengetahui apa yang menjadi kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan yang dimiliki untuk masa depan, juga kekuatan dan hasrat yang dinuliki untuk menentukan dan mengontrol nasibnya sendiri. Remaja juga siap untuk memasuki salah satu peranan di tengah masyarakat yang beragam.
    Pada tahap ini, ego memiliki peranan yang besar dalam menentukan apa yang dipilih, menjadi kemampuan, keteranpilan untuk identifikasi dan melakukan adaptasi dalam lingkungan masyarakat. Ego sudah pasti melibatkan aspek-aspek sadar maupun tak sadar. Semua yang dipilih oleh ego akan diintegrasikan dan dapat menjadi identitas psikososial yang dimiliki anak tersebut.
    Peralihan yang cukup sulit dari kanak-kanak hingga dewasa menyebabkan kekacauan identitas. Hal ini disebabkan oleh penderitaan yang dialami lebih dalam daripada masa-masa yang lain. Remaja merasa bahwa mereka harus memutuskan pilihan-pilihan yang dituntut oleh masyarakat namun belum dapat melakukan seutuhnya. Dari sudut pandang remaja, mereka sangat peka terhadap bagaimana cara orang lain memandang mereka dan menjadi mudah tersinggung serta memiliki rasa malu.
    Selama tahap ini, remaja memiliki perasaan bahwa mereka tidak maju dan akhirnya kembali ke masa kanak-kanqk dimana merupakan jalan alternatif yang dilalui mereka agar menghindari dirinya dari keterlibatan dengan orang dewasa. Remaja dapat menutup diri karena takut untuk ditolak, dikecewakan atau disesatkan yang pada akhirnya mereka dapat lalai akan konsekuensi-konsekuensi dan komitmennya.
    Krisis identitas yang dirasakan saat ini perlu diatasi karena sifatnya uang sementara sehingga hal yang selanjutnya dilakukan adalah membentuk suatu identitas yang stabil. Bahaya yang diapat ditimbulkan ini dapat berpengaruh pada penyeselasian krisis ini.Berkembangnya identitas negatif dapat memiliki potensi baik buruk atau tidak berharga.                    
    Memproyeksikan sifat-sifat buruk itu kepada orang-orang lain adalah cara lazim yang digunakan untuk mengatasi identitas negatif. Kesiapan remaja sangat membutuhkan proyeksi dimana mengakibatkan prasangka ataupun kejahatan, serta kelompok orang yang didiskriminasi. Hal ini penting untuk remaja dalam melibatkan diri dalam suatu ideologi.

Komentar